Entri Populer

Jumat, 30 Desember 2011

makalah civic education : Perempuan, Hukum dan Agama


A.   LATAR BELAKANG
Sebagaimana kita ketahui, dari abad terdahulu perempuan dianggap (oleh laki-laki) sebagai makhluk yang mirip manusia. Pada perkembangan selanjutnya, tidak bisa disangkal lagi, kebudayaan kita telah mengajarkan kita untuk menepatkan perempuan sebagai makhluk sekunder.  Bahkan ada yang berpendapat sejumlah agama yang besar, yang bersifat kebapakkan , menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Karena fungsi reproduksinya yang berbeda dengan laki-laki di mana beban reproduksi disangga seluruhnya oleh perempuan, menyebabkan berkurangnya ( atau tidak punya kesempatan) untuk berperan secara aktif dalam kegiatan publik, ataupun politik. Dalam seluruh kegiatan publik ataupun politik, perempuan ketinggalan dibandingkan laki-laki. Perempuan diidentikkan dengan semua kegiatan yang bersifat domestik.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, kita dapat melihat bagaimana perempuan pada saat ini mulai berpartisipasi dalam kegiatan publik ataupun politik. Mereka juga memiliki pengaruh yang sangat penting untuk pembangun Negara.
Dan dalam makalah “ perempuan, hukum, dan agama “ ini, saya akan membahas tentang keadaan hukum dan perempuan di indonesia serta perempuan dilihat dari segi agama.









B.   PEMBAHASAN

1.  Pengertian perempuan
Sebelum kita membahas tentang membahas tentang keadaan hukum dan perempuan di indonesia serta perempuan dilihat dari segi agama, kita harus mengetahui perempuan itu sendiri.
 Perempuan adalah suatu mahluk yang diciptakan Tuhan dengan sempurna, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sama dengan ciptaan Tuhan lainnya. Perempuan adalah juga Individu yang indah dan unik serta mempunyai peranan tersendiri, peranan yang khusus di dalam kehidupan ini. 
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Perempuan atau wanita ialah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui.  salah satu daripada dua jantina bagi manusia; iaitu lelaki dan perempuan. Penggunaan perkataan "perempuan" dalam bahasa Melayu adalah khusus untuk manusia; bagi haiwan, jantinanya dirujuk sebagai betina. Perkataan lain yang membawa arti perempuan adalah wanita, gadis, dara, betina.
Perempuan bisa menjadi suatu pribadi yang menyenangkan dan mempunyai arti bila ia menyadari, memahami dan menjalankan fungsinya di posisi dimana dia ditempatkan di dalam dunia ini, baik sebagai anak, ibu, menantu, mertua, adik, kakak, istri ataupun teman.
Siapa perempuan adalah bagaimana si perempuan itu sendiri memandang dan menghargai dirinya dan bagaimana orang lain memandang pribadi yang bersangkutan, walaupun hal ini tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Banyak perempuan yang mencari identitas dirinya secara berlebihan untuk agar bisa diterima di masyarakat atau suatu kumpulan kelompok tertentu. Hal ini biasanya terjadi di masa-masa puber ataupun pada perempuan dewasa yang masih sibuk dengan banyak masalah identitas.
Pendeknya, siapapun dia sebagai perempuan, identitasnya adalah sebagai ciptaan Tuhan, dan Tuhan sendiri sangat mengasihi dan peduli padanya, bagaimanapun dia memandang dirinya. Banyak perempuan yang mengalami kejadian yang tidak menyenangkan kemudian memvonis dirinya dengan label-label tertentu, dan mengasihani diri sendiri.  Para perempuan perlu cepat bangkit dari kondisi yang seperti ini karena dari pemikiran yang salah bisa timbul tindakan yang salah, yang terjelek adalah bunuh diri, dan itu seringkali terjadi hanya karena tidak adanya self acceptance / penerimaan diri yang benar
Perempuan adalah juga mahluk yang senang bersosialisasi. Senang untuk ngobrol kesana kemari dengan teman-temannya karena itu juga oleh sebagian perempuan digolongkan sebagai salah satu bentuk dalam mengungkapkan emosi dan perasaannya.

2.  Keadaan Hukum dan Perempuan di Indonesia
A. Perempuan dan  Konstistusi
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan dan membangun kemandirian bangsa yang dimulai sejak zaman pergerakan, menunjukkan bahwa pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, serta menjamin keharusan untuk menegakkannya, dinyatakan dalam Pembukaan dan ketentuan-ketentuan dalam untuk menegakannya, dinyatakan dalam Pembukaan dan ketentuan-ketentuan UUD 1945. Hak tersebut lebih diperkuat dengan terjadinya amademen terhadap UUD 1945 yang memuat secara eksplisit pasal-pasal tentang HAM.
Sejarah perjuangan perempuan Indonesia juga menunjukkan bahwa sejak awal abad 19 sejumlah tokoh perempuan telah memperjuangkan kemerdekaan dan kemandirian bangsa, termasuk meningkatakan kedudukan, peran dan kemajuan perempuan di Indonesia. Kongres  Perempuan Indonesia I pada tanggal 28 Desember 1928 merupakan tonggak sejarah yang penting bagi “Persatuan Pergerakan Indonesia”, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan kebangsaan Indonesia.Perjuangan perempuan Indonesia sejak awal telah memperjuangkan hak asasinya serta penegakannya, dinyatakan melalui pengakuan persamaan hak dengan laki-laki dalam UUD 1945 serta amademennya.
Perjuangan menigkatkan kedudukan dan menegakkan hak permpuan terjadi pula di tingkat dunia. Dimulai pada tahun-tahun pertama setelah berakhirnya Perand Dunia I, pada tahun 1935 wakil-wakil pemerintah di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas permasalahan kedudukan perempuan, dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik. Setelah berakhirnya Perang Duni II, berdirilah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan ditandatanganinya Piagam PBB di San Fransisco pada tahun 1945. Piagam PBB merupakan instrument internasional pertama yang menyebutkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam pendahuluan piagam ini, antara lain ditagaskan kembali kepercayaan bangsa-bangsa di dunia akan HAM, harkat dan martabat setiap manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1948, Deklarasi Hak Asasi Manusia  ( DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum Perseriakatan Bangsa-Bangsa. Hal ini menunjukkan komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan lain.
Setelah DUHAM, lahir berbagai instrument HAM internasional mengenai aspek-aspek khusus tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat, antara lain Konvensi tentang Hak Politik Perempuan tahun1953 yang diratifikasi Indonesia de4ngan UUD No. 68 Tahun 1956. Pada tanggal 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan), disebut sebagai konvensi Wanita atau Konvensi Perempuan sekarang disebut juga sebagai Konvensi CEDAW atau CEDAW saja.
Konvensi tersebut dinyatakan berlaku sebagai suatu perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981, setelah 20 negara meratifikasinya. Hingga kini sudah 178 negara, atau lebih dari 90% Negara anggota PBB meratifikasi atau menyetujui Konvensi tersebut. Di antara perjanjian HAM internasional, Konvensi Perempuan merupakan konvensi perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan yang paling komprehensif, dan sangat pentingkarena menjadi segi kemanusiaan perempuan, yang merupakan lebih dari sebagian jumlah penduduk dunia, sebagai focus keprihatinan HAM. Jiwa dari Konvensi Perempuan berakar dalam tujuan dari piagam PBB, yaitu penegasan kembali kepercayaan pada HAM, harkat dan martabat setiap diri manusia dan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Konvensi Perempuan secara kompehernsif memberikan rincian mengenai arti persamaan hak perempuan dan laki-laki, dan langkah-tindak yang diperlukan untuk mencapainya.
Dalam Mukadimah Konvensi diakui bahwa “ meskipun ada bermacam-macam perangkat ketentuan, diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada”. Dinyatakan pula bahwa diskriminasi itu “melanggar asa persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia” dan “menghambat pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga dan menambah sukarnya perkembangan potensi perempuan dalam pengabdiannya pada Negara dan kemanusiaan”.
Indonesia meratifikasi KonvensiPerempuan dengan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dengan persyaratan (reservation) terhadap Pasal 1 ayat (1).
Makna dari ratifikasi suatu konvensi internasional dengan undang-undang ialah suatu perjanjian internasional (treaty) yang menciptakan kewajiban dan akuntabilitas Negara yang meratifikasinya. Ratifikasi oleh Pemerintah denga persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi sebagi hukum formal dan bagian dari hukum nasional. Pasal 7 (2) UU No. 39 tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa “ Ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.”
Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi internasional ialah bahwa Negara Peserta (peratifikasi konvensi) memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk ,enjaminmelalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Sebagi konvensi HAM perempuan yang paling kompeherensif yang diakui dunia sebagai Bill of Rights for Women, Konvensi Perempuan menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan untuk mengahapus kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang melanggar hak perempuan dan merugikan kedudukan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat.
Untuk mengetahui terjaminnya hak perempuan dalam UUD 1945 Hasil Amademen, maka prinsip-prinsip Konvensi Perempuan akan digunakan sebagai alat analisis. Juga akan digunakan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
a.      Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan :
Konvensi Perempuan menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (equality and equity), yaiyu persamaan hak dan kesempatan serta penikmatn manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan.
Konvensi Perempuan mengakui bahwa:
·    Ada perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki.
·    Ada perbedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan.
·    Ada perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam kondisi dan posisi yang lebih lemah karena mengalami diskriminasi atau menanggung akibat karena perlakuan diskriminatif di masa lalu, atu karena lingkungan, keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan.
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi Perempuan menetapkan prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi sert tindakan yang merugikan hak dan kedudukan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat.
Prinsip-prinsip yang dianut oleh Konvensi Perempuan perlu dipahami untuk dapat menggunakan Konvensi sebagai alat untuk advokasi. Prinsip-Prinsip tersebut merupakan kerangkan untuk merumuskan strategi pemajuan dan penegakan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan dapat digunakan pula sebagai hak perempuan. Prinsip-prinsip konvensi Perempuan dapat digunakan pula sebagai alat untuk menguji apakah suatu kebijakan , aturan atau ketentuan mempunyai damapak , dalam jangka pendek atau jangka panjang, yang merugikan perempuan.
            Konvensi Perempuan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)        Prinsip persamaan substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan pernikahan manfaat. Secara prinsip persamaan substansi yang dianut Konvensi Perempuan adalah:
·      Langkah-tindak untuk merealisasi hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan.
·      Langkah-tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga permpuan mempunyai kesempatan dan akses yang sama dengan laki-laki serta menikmati manfaat yang sama.
·      Konvensi Perempuan mewajibkan Negara untuk mendasarkan kebijakan dan langkah-tindak pada prinsip-prinsip: (a) kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki, (b) akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, (c) perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil-hasil menggunakan kesempatan dan akses tersebut.
·      Hak hukum yang sama bagi perempuan dan laki-laki (i) dalam kewarganegaraan, (ii) dalam perkawinan dan hubungan keluarga, (iii) dalam perwalian anak.
·      Persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuanyang sama di depan hukum.
b)        Prinsip Non-Diskriminasi.
Definisi mengenai diskriminasi terhadap perempuan dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Perempuan:
“Istilah ‘Diskriminasi terhadap perempuan’ berarti setiap pembedaan, pengucilam atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh permpuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”
c)        Prinsip Kewajiban Negara.
Menurut Konvensi Perempuan prinsip dasar kewajiban Negara meliputi hal-hal sebagai berikut:
·         Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.
·         Menjamin pelaksaan praktis dari hak itu melalui langkah-tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluang itu.
·         Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan.
·         Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto
·         Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga melaksanakannya terhadap tindakan orang-orang dan lembaga di sektor privat (keluarga) dan sektor swasta.
b.      Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia
UUD 1945 beserta amademen tidak menyebutkan secara eksplisit kata-kata laki-laki dan perempuan, tetapi menyatakan dengan kata-kata….. orang-orangseluruh rakyat….penduduksegala warga negara….tiap-tiap warga negara….tiap-tiap orang…. setiap orang.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hak perempuan (dan laki-laki) dijamin dalam dasar Negara Republik Indonesia …..Kemanusiaan yang adil dan beradab….dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, demikian pula seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditentukan dalam pasal-pasal terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara dan penduduknya. UUD 1945 Bab X Warga Negara dan penduduknya (pasal 26, 27 dan 28).

B. Perempuan dan  Politik Islam
a. Mengenal partai Politik Islam dan Berbagai Agendanya
Partai politik merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembentukan kekuasaan negara. Melalui partai politiklah berbagai kepentingan masyarakat akan diserap dan diadopsi dalam berbagai bentuk kebijakan negara yang dirumuskan oleh badan legislatif  yang menjadi ranah formal dari berlakunya fungsi-fungsi partai politik. Berbagai rumusan di bawah ini, memberikan batasan pada kita mengenai partai politik, partai politik Islam, dan berbagai platform partai politik Islam yan terkait dengan isu-isu perempuan.
Syarbaini mendefinisikan partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisasi secara rapid an stabil yang mempersatukan dan dimotivasi oleh ideology tertentu serta berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintah melalui Pemilu. Fungsi-fungsi partai politik dalam negarademokrasi adalah melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, control politik, dan sebagainya. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hagopian menyatakan bahwa partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideoligis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.
Keragaman pandangan keagamaan islam mengenai perempuan berpolitik juga pernah menjadi telaah Yusril Ihza Mahendra. Ia melakukan studi perbandingan antara Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jami’at-I-Islami (Pakistan) dalam prakti politik yang berkaitan dengan dunia kepartaian kontemporer, terdapat dua kategori partai islam (yaitu partai islam yang bercorak modernis dan partai Islam yang bercorak Fondamentalis).
Ia menyatakan bahwa partai Masyumi merupakan partai yang bercorak modernis yaitu dimana partai ini bersikap agak liberal dalam menafsirkan status kaum perempuan. Mereka memprogramkan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum, sosial, dan ekonomidan politik. Kaum perempuan diperbolehkan bekerja di sektor publik, berpartisipasi dalam kegiatan politik, bahkan diperbolehkan untuk menjadi kepala negara. Sementara Partai jama’at-I-Islami dikategorikan sebagai partai bercorak fundamentalis, mereka menolak persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Partisipasi kaum perempuan yang disebutkan di bidang-bidang di atas dibatasi. Untuk keluar rumah, kaum perempuan harus dikawal oleh suami dan muhrimnya. Kaum perempuan tidak diperbolehkan bekerja di sektor publik, dan secara tegas dilarang menjadi kepala negara.
b. Memahami Urgensinya Representasi Politik Perempuan
Persoalan representasi dalam politik akan sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai ideology dan keterwakilan politik. Legislatif dan keterwakilan politik dipahami oleh masyarakat sebagai mata rantai yang menghubungkan anatara pihak yang diwakili denga pihak yang mewakili. Disini, legislatif dipahami oleh masyarakat sebagai sarana untuk mengidentifikasi wakil mereka, artinya seorang wakil memiliki sikap, pandangan, atau kehendak sesuai yang diharapkan oleh pendukungnya. Bila dibandingkan antara jumlah wakil dari kaum perempuan dengan jumlah perempuan yang harus diwakili, keadaanketerwakilan (representasi) perempuan di dunia politik ataupunyang berkaitan dengan jabatan-jabatan publik strategis baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, masih sangat timpang.
Representasi perempuan sebenarnya lebih dari sekedar symbol keterwakilan dari perempuan yang berkembang pengaruh politiknya. Representasi perempuan secara substantif ini memiliki makna “atas nama” dan “bertindak untuk” permpuan secara simultan menurut Hanna Pitki.
Berkaitan dengan gambaran mengenai upaya teoritis dan empiris alam gender dan politik, berdasarkan studi yang dilakukannya melalui wawancara terhadap sejumlah anggota kongres, pitkin mengembangkan dan melakukan evaluasi sebuah model perbedaan perilaku legislatif berdasarkan jenis kelamin yang menempatkan perempuan sebagai representasi dan kepemimpinan legislatifpada berbagai isu perempuan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari pengalaman maupun perilaku dan sumber daya kaum perempuan anggota legislatif, maupun keterlibatan mereka dalam menciptakan kemapanandan promosi berbagai agenda-agenda perempuan di ranah legislatif.
c. Memotret Beragam Pandanagan Muslim mengenai perempuan Berpolitik
Pada dasarnya, pandangan kaum mislim mengenai perempuan yang berpolitik ini tidaklah tunggal. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan di dunia politik, yaitu:
·      Pertama: pendapat konservatif yang mengatakan bahwa islam apalagi fiqh, sejak kemunculannya di Makkah dan Madinah tidak diperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik.
·      Kedua; pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa islam sejak awal telah memperkenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik.
·      Ketiga; pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah tertentu yang sama sekali tidak boleh dijamahi oleh perempuan. Menurut kelompok ini, yang menjadi wilayah politik perempuan adalah menjadi ibu.
Sungguhpun kita dapat melihat perbincangan mengenai perempuan dalam wacana fiqh politik yang menjadi rujukan untuk melihat perempuan dalam khasanah perpolitikan Islam, namun ruang itu terkesan berada pada tempat yang tidak strategis bahkan termajinalkan. Dalam fiqh politik, misalnya isu tentang lembaga-lembaga pemerintahan seperti Imamah, perwakilan, kementrian (wazir), dan sebagainya, terkesan lebih akrab dengan aktivitas laki-laki dibandingkan dengan aktivitas perempuan.
Argumentasi yang sering dipakai untuk menyerang ‘kelemahan perempuan’ dalam kemampuannya berpolitik ini seringkali bersandar pada apa yang disampaikan oleh seorng ulama bernama Wahbah Az Zuhaili, yang beranggapan bahwa politik membutuhkna kemampuan yang besar, yang tidak mungkin ditanggung oleh seorang perempuan, disamping perempuan tidak mungkin melakukan pekerjaan-pekerjaan berisiko tinggi seperti berperang.
Zuhaili yang mengemukakan ketidakbolehan perempuan untuk terlibat di dunia politik, termasuk menjadi kepala negara adalah karena ia menjadi sandaran legitimasi dari hadts yang dikemukakan oleh Abu Bakrah: Lan yuflihu qaumu wallahu amrahum imra’atan (Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya kepada perempuan).
C.    Perempuan dan Kewarganegaraan
a.      Perempuan dan Pernikahan antar Warga Negara
Di Indonesia, perkawinan campuran didominasi oleh perempuanWNI yang menikah dengan laki-laki wna. Menurut hasil survey Indo-MC tahun 2002, dari 574 responden 95,19% adalah perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, dan menurut data KCS, dari 878 pernikahan antar warga negara dari tahun 2002-2004, perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA tercatat 829 pernikahan (94.4%).
Walaupun perempuan merupakan pelaku mayoritas perkawinan campuran, namun,dampak pernikahan tersebut berbeda pada laki-laki dan perempuan,karena Undang-Undang di Indonesia mengatur status perempuan yang menikah mengikuti status hukum suaminya.Pembedaaan tersebut menjadi sumber pelanggaran hak-hak perempuan sebagai warga negara melalui aturan hukum lain yang mengacu pada Undang-Undang tersebut.
b.      Konsep Kewarganegaraan dan Perempuan
Dalam konsep kewarganegaraan Yunani klasik,status kerganegaraan ditetapkan menurut wilayah territorial, jenis kelamin,dan status. Dari segi jurisdiksi territorial,hanya warga yang lahir dan hidup di polis(negara kota) tersebut yang berhak menjadi warga negara, dari jenis kelamin hanya laki-laki yang disebut warga negara, karena perempuan tidak berpartisipasi dalam pembicaraan publik yang merumuskan nasib bangsa. Menurut status, manusia lain yang tidak dikategori sebagai warga negara ialah mereka yang berstatus budak. Dengan kata lain, konsep awal kewarganegaraan adalah laki-laki yang lahir di wilayah tertentu dan dari kelas sosial tertentu (bukan budak) yang mampu berpartisipasi dalam pembicaraan politik.
Menurut Carole Pateman, warga terbagi pada dua ruang, yaitu ruang publik dan ruang privat. Nasionalisme dan negara adalah bagian dari ruang publik, sedangkan perempuan dan keluarga berada di ruang privat, oleh karena itu perempuan dan anak selalu terkucilkan dalam wacana kewarganegaraan.
Bagi kaum feminis  ada dua alasan mengapa status kewarganegaraan perempuan tidak diikutkan dalam wacana kewarganegaraan, yaitu karena tradisi patriarki dalam masyarakat modern, dank arena nasionalisme sempit.
1.    Tradisi Patriarkhi
Secara umum didefenisikan sebagai prinsip dominasi laki-laki yang membentuk struktur dan sistem legislatif dominasi, diaman laki-laki mengontrol perempuan. Tradisi patriarkhi berisi ”seperangkat hubungan sosial antara laki-laki dengan basis materi yang mereka miliki dan saling ketergantungan serta solidaritas di antara mereka yang telah terbangun mapan yang memungkinkan mereka mendominasi perempuan”.
Ada dua argumen yang menyatakan bahwa kewarganegaraan itu merupakan tradisi patriarkhi. Pertama, Kewarganegaraan itu buta gender(citizenship is gender blind), dimana hanya terpusat pada laki-laki,dan pada kesetaraan, tetapi gagal dalam memperhitungkan bahwa masyarkat modern terbentuk dalam tradisi patriarkis,yang didominasi oleh oleh laki-laki dan member privilege lebih terhadap kelompok laki-laki. Kedua, Kewarganegaraan tidak ramah terhadap perempuan(citizenship is inimical to women), yaitu mengucilakn perempuan dan kewarganegaraan.
Tradisi patriarkhi terefleksi dalam Undang-Undang tentang keluarga di Prancis yang kemudian diadopsi oleh Belanda pada tahun 1890-1900 yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk yang tercerahkan(enlightened) berkenaan dengan kepemilikan(property) dan intelektual, dan menjadi kepala keluarga. Sistem kekeluargaan yang mengatur masalah pernikahan dimaksudkan untuk menjaga hubungan darah antara ayah dan anak.
2.    Nasinalisme sempit
Nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi seseorang yang diberikan pada suatu bangsa. Dengan semangat nasionalisme lahirlah sebuah bangsa(nation), dimana para anggotanya mempunyai ikatan tertentu secara politis, sehingga bangsa tersebut menyatukan anggotanya dalam sebuah wilayah. Walaupun bangsa tersebut mempunyai batas tempat yang jelas, tetapi mereka masih memerlukan penjaga perbatasan. Batas itu tidak berkaitan dengan geografis, tetapi berkaitan dengan simbol budaya, pakaian, perilaku, kebiasaan, adat, agama, artistic, dan bahasa. Untuk itu para nasionalis menggunakan perempuan sebagai penjaga batas.
Menurut Anthias dan Yuval-Davis, ada 5 keterlibatan perempuan dalam proyek nasionalis ini, yaitu :
(1)      Sebagai pembawa bangsa (biological reproducer)
(2)      Sebagai penjaga batas bangsa(reproducer of national bound-aries)
(3)      Sebagai transmitter aktif sosialisasi budaya
(4)      Sebagai penanda perbedaan sebuah bangsa, symbol identitas nasional, misalnya melalui pakaian.
(5)      Sebagai partisipan aktif dalam mempertahankan negara
Nasionalisme yang menggunakan perempuan (dan alat reproduksinya) untuk menjaga kepentingan kaum nasionalis adalah nasionalisme sempit. Artinya, ketika semangat nasionalisme terjebak pada semangat puritanisme dan anti asing (xenophobia) dengan menggunakan perempuan.
Atas nama nasionalisme, perempuan dimobilisasi untuk melahirkan anak pada awal abad ke-20 di Australia dan Amerika. Perempuan yang tidak mau mempunyai anak dituding sebagai kejahatan pada pemurnian ras dan stabilitas nasional di Australia.
c.       Peraturan Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Implikasinya terhadap Kehidupan Perempuan
Peraturan tentang Kewarganegaraan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang ini mengatur tentang bagaiman memperoleh, kehilangan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia (nasiomality), tetapi tidak mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara (citizenship). Asa yang dianut dalam UU ini adalah ius sanguinis,  yaitu kewarganegaraa ditentukan berdasarkan status kewarganegaran ayah, asas persamaan derajat, anti-apatride (menghindari tanpa kewarganegaraan), dan anti-bipatride (menghindari dua kewarganegaraan).
Undang-Undang ini menempatkan perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah, terutama yang menikah dengan laki-laki warga negara asing (WNA), sebagi subjek hukum yang tidak otonom, karena status hukum perempuan tersebut diikutkan pada status hukum suaminya. Oleh karena itu, jika perempuan WNI menikah dengan laki-laki WNA, maka status hukumnya dianggap menjadi asing dengan kekecualian.  Selain itu, asa ius sanguinis yang dianut Undang-Undang ini menyebabkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut berkewarganegaraan asing.
Pasal- pasal dalam UU No. 62 tahun 1958 yang menjadi persoalan bagi perempuan WNI tersebut adalah pasal 1,3,8, dan 10.
Dalam hal ini perkawinan antar warga negara atau perkawinan campuran, azas persamaan hukum dalam keluarga diyakini bias meminimalisasikan permasalahan, sehingga dalam suatuv keluarga hanya dipakai satu hukum saja. Argument lain tentang tidak diterapkannya azas persamaan derajat penuh dalam perkawinan campuran adalah jika suami-istri mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, akan sulit bagi suatu rumah tangga untuk menganut dua sistem hukum yang berbeda. Alas an lainnya adalah akibat dari pembangian ranah publik-domestik yang menempatkan perempuan di sektor domestik dan berada dalam perlindungan suami. Akan tetapi, hal tersebut menjadi tidak adil apabila status hukum laki-laki yang menentuka posisi permpuan, karena hal tersebut akan menghilangkan otonomi kewarganegaraan perempuan WNI dan menimbulkan masalah pada perempuan tersebut.
d.      Posisi Perempuan sebagai Warga Negara
Di Indonesia, status kewarganegaraan masih harus dibenahi, Karena ada sebagian kelompok warga negara yang status kewarganegaraannya jadi tidak jelas karena perkawinan. Hal ini merupakan akibat dari kedudukan perempuan dan laki-laki yang tidak setara dengan hukum. Padahal status kewarganergaraan mempunyai implikasi yang tidak sederhana pada pelaksaan hak dan kewajiban sesorang, oleh karena itu  kewarganegaraan merupakan haka azasi setiap manusia yang dijamin secara internasional dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 15 : (1) “ Everyone has the right to nationality (2) No one shall arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change his nationality”, dan secara nasional diatur UUD 1945 pasal 28D ayat 4: “ setiap orang berhak atas status kewarganegaraan “.
Jika status kewarganegaraan tidak jelas, permpuan tidak akan bisa menjejakkan langkah ke tingkat yang lebih tinggi, seperti peran serta di ruang publik atau politik . menurut General Recommendtion 21 on Equality in Mariage and Family Relations (CEDAW 13th session,1992):
Kewarganegaraan adalah status penting untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Secara umum, negara dapat memberikan kewarganegaraan pada mereka yang lahir di negara tersebut. Status kewarganegaraan dapat pula diperoleh melalui perjanjian atau penganugerahan atas dasar kemanusiaan, misalnya menghindari statelessness. Tanpa status kewarganegaraan, perempuan dikucilkan dari haknya untuk berpartisipasi dalam pemilu atau berkiprah di wilayah publik, dan dibatasi aksesnya terhadap public benefits dan pemilihan tempat tinggal. Setiap perempuan dewasa juga bias menggnti kewarganegaraannya dan status tersebut tidak harus hilang hanya karena status pernikahan atau perceraian, atau karena ayah/suaminya mengambil kewarganegaraan.
Hal yang berkaitan dengan identitas kewarganegaraan seseorang (nationality) dan hak serta kewajiban sebagai implikasi dari identitas itu ( citizenship) melahirkan empat hak warga negara, yaitu :
·         hak sipil,
(1)      Keimigrasian, keimigrasian adalah masalah yang dihadapi semua perempuan di WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, karena anak yang dilahirkan dari perkawinan ini berstatus warga negara asing. Oleh karena itu mereka harus melengkapi diri dengan paspor dan izin tinggal bagi orang asing yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi (kanim), Izin tinggal tersebut harus diproses sejakn anak tersebut lahir, yaitu melaporkan kelahiran  ke kantor imigrasi untuk memperoleh Surat Lapor Lahir (SLL).
(2)      Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia, pindah kewarganegaran karena terpaksa dialami seorang perempuan WNI yang bersuamikan orang Swiss dan tinggal di Brisbane, Australia. Menurut peraturan di Australia, anak di bawah umur dilekatkan pada paspor ibu, walaupun ibu berkewargnegaraan Indonesia dan anak-anak WN Swiss. Suatu ketika ia pulang ke Indonesia karena ibunya meninggal dunia, akan tetapi ia kesulitan keluar dari bandara Soekarno-Hatta karena anak-anaknya tidak mempunyai paspor Swiss. Karena tergesa-gesa akhirnya dengan berani, sang suami menelepon kedutaan besar Swiss di Jakarta dan meminta untuk dating ke bandara. Saat itu juga perempuan tersebut diambil sumpahnya sebagai negara Swiss, dan akhirnya ia diperbolehkan masuk ke Indonesia, tanah airnya sendiri, sebagai orang asing.
(3)      Kehilangan Hak asuh akibat perbedaan status, setelah perkawinan putus akibat perceraian, maka hak asuh menjadi persoalan tersendiri bagi permpuan. Lazimnya beberap negara menetapkan bahwa anak berusia di bawah 12 tahun diserahkan kepada ibunya, walaupun kewarganegaraan anakn berbeda dengan ibu.
(4)      Pembatasan hak mempunyai harta tak bergerak ( Property)
(5)      Anak dari perempuan WNI dan laki-laki WNA stateless dan menjadi tanpa tanah air
(6)      Anak diklaim lahir di luar nikah
·         hak politik,  Mw (WNI) menikah dengan WNA pernah mendaftar sebagai calon anggota legislative dalam pemilihan umum pada tahun 1989, akan tetapi mnurutnyapencalonannyatertolak karena ia bersuamikan WNA. Akan tetapi penolakan ini bersifat verbal dan tidak ada dalam peraturan atau ketetapan partai.
·         hak ekonomi,
·         hak politik.
e.       Jaminan Kewarganegaraan Perempuan
Permasalahan status kewarganegaraan dari perempuan yang kawin campur ternyata tidak hanya menjadi masalah di Indonesia saja, akan tetapi terjadi juga di negara-negara lain secara umum, terutama di negara penganut azas ius sanguinis yang ketat, seperti Irak, Jordan, Maroko, dan lain-lain.
Oleh karena itu, melalui perantaraan PBB dibentuklah konvensi Kewarganegaraan untuk perempuan yang kawin (Convention on the Nationality of Married Woman, 1957) yang menganjurkan agar perempuan yang kawin diberikan hak untuk menjadi pribadi yang otonom, tidak menolak kewarganegaraan dan diberi hak pula untuk memberikan kewarganegaraan pda anaknya.
Pada dasarnya ada banyak perangkat hokum yang bias memperbaiki posisi perempuan yang menikah dengan laki-laki WNA sebagai warga negara. Oleh karena itu, perubahan pada UU kewarganegaraan harus dilakukan karena tidak hanya menyakut perbaikan posisi perempuan saja, akan tetapi menyangkut perlindungan negara terhadap warganya. Hal-hal yang bias dipertimbangkan dalam perubahan konsep kewarganegaraan yang akomodatif terhadap perempuan menurut peraturan yang ada adalah: permpuan tidak kehilangan status kewarganegaraannya karena pernikahan, menghormati kehidupan berkeluarga, perempuan bisa memberikan status kewarganegaraan pada anaknya, dan memberikannya akses penuh pada hak-hak sebagai warga negara seperti WNI lainnya.
f.       Tantangan perkawinan campuran pada konsep kewarganegaraan Republik Indonesia
Perkawinan antar warga negara atau perkawinan campuran yang menunjukkan pertumbuhan pesat telah memberikan tantangan tersendiri pada konsep kewrganegaraan Indonesia. Peraturan kewarganegaraan yang ada saat ini yang mengadopsi satu individu satu warga negara telah menempatkan permpuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA dalam situasi yang konfliktual. Pertama, sebagai WNI permpuan menginginkan status penuh terhadap kewarganegaraan dan hak-hak yang melekat di dalamnya. Kedua, pernikahannya denganlaki-laki WNA membuat statusnya ambigu, sebagi WNI ia dianggap orang asing, dan di negara suaminya ia tetap dianggap imigran atau orang asing. Ketiga, status hukumnya terpisah dengan status hokum anaknya, dan dalam banyak hal menimbulkan masalah bagi perempuan tersebut.
Dalam menyikapi globalisasi dan perkawinan campuran jika negara menganut asas anti-bipatride yang ketat akan menimbulkan masalah dan korban, terutama pada perempuan dan anak. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih terbuka terhadap kewarganegaraan ganda.
Konsep kewarganegaraan ganda terladang dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena dianggap tidak patriotik dan dicurigai hanya akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Padahal dalam beberapa kasus kewarganegaraan ganda tak terhindarkan, misalnya seorang anak yang berayah WNI lahir di wilayah Amerika Serikat (penganut asas ius soli), maka secara de facto ia adalah warga Amerika, sementara de jure, dia adalah Indonesia.
D.Perempuan dan Ketenagakerjaan
Undang-undang ketenagakerjaan No. 14 Tahun1969 yang diperbarui dengan UU No.13 tahun 2003 menyatakan adanya kesamaan hak tanpa diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan di pasar kerja (pasal 5dan 6). Meskipun ada stereotip perempuan yang dikenal luas yaitu bahwa “pekerjaan” perempuan adalah “domestic Jobs” (mengurus rumah tangga dan memasak/mencuci, merawat anak, berkebun dan lain-lain kegitan yang dilaksanakan di sekitar rumah), sedangkan pekerjaan di luar rumah untuk mencari nafkah dianggap sebagai dunia kaun laki-laki; tetapi dalam kenyataannya banyak dijumpai tenaga kerja perempuan yang keluar dari pekerjaan “domestiknya” . stereotip semacam ini bukan bersifat kodrati, tetapi cenderung dipetahankan melalui proses sosialisasi dalam kelompok masyarakat yang menghargai nilai-nilai patriarkhi.
Salah satu program pengembangan sumberdaya manusia berkenaan dengan bidang ketenagakerjaan menyebutkan adanya kegiatan untuk meningkatkan partisipasi permpuan dalam pembangunan ekonomi, termasuk pengawasan dan perlindungan tenaga kerja perempuan, dipengaruhi oleh sumber keluarga yang kemudian dengan segala keterbatasan (constain) masuk ke pasar kerja untuk memperoleh pekerjaan.
E.     Otonomi Perempuan
Otonomi perempuan diartikan sebagai perempuan yang otonom, independen, serta mandiri dalam segala hal. Prinsip otonomi adalah wewenang manusia sesuai fitrahnya sebagai khalifatullah bagi dirinya, keluarga dan masyarakatnya. Perempuan dalam menjalankan fungsi dan misi sucinya itu yakni sebagai pemimpin, khalifatullah, harus didukung dengan otonomi perempuan akan dirinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan sebaiknya dan seharusnya mampu mengatur hidup dan dirinya sesuai keinginannya. Perempuan harus memiliki kebebasan memutuskan apa yang terbaik bagi berbagai pilihan jalan dan pintu kehidupannya. Tanpa otonomi, perempuan akan sulit memposisikan diri dalam kancah pergulatan dan perebutan peran dalam ranah kehidupan masyarakatnya.

Budaya patrialistik yang lebih memihak pada laki-laki telah menyebabkan rendahnya kesadaran perempuan untuk berkreasi. Lemahnya kesadaran perempuan tersebut memposisikan mereka sebagai masyarakat kelas dua yang terpinggirkan dan terdesak karena arogansi budaya. Perempuan sekarang masih sering menjadi objek bukan subyek. Hal inilah yang mendorong maraknya eksploitasi dan pembelengguan hak-hak perempuan yang sering berujung pada kasus pelecehan dan kekerasan terhadap objek kehidupan itu, perempuan.

Penindasan arogansi budaya pun sering kali menempatkan perempuan pada posisi korban. Masih membudayanya kawin muda usia dini sering kali merugikan kaum perempuan. Perempuan sering dipaksa meninggalkan bangku pendidikan bahkan tega memberangus hak-hak pengembangan dirinya hanya demi memuaskan nafsu budaya masyarakatnya.

 Kondisi ini cenderung mendesak perempuan sebagai kaum terbodoh, terlemah, tidak mandiri, ketergantungan yang teramat dan bahkan tak mampu berbuat apa-apa, sehingga dengan mudahnya ditindas dan dianiaya. Hal ini dapat terekam dengan semakin maraknya dijumpai tindak kekerasan dalam rumah tangga dimana perempuanlah yang diposisikan sebagai objek kekerasan.
Selain itu kurangnya taraf pendidikan kaum perempuan berakibat termarginalnya mereka dalam ranah perekonomian sehingga mereka, sekali lagi, seakan-akan diposisikan sebagai objek dunia ekonomi yang dari rahimnya melahirkan dana segar bagi oknum-oknum kapitalis.
Penderitaan perempuan semakin diperparah dengan hantaman pukulan telak kehidupan sosialnya, mereka dalam himpitan dan keterdesakan terpaksa harus menjajakan dirinya, rela dieksploitasi untuk dapat bertahan hidup.
Namun ironisnya, terkadang nafsu materialis yang besar dalam diri perempuan, yang kurang mampu dikekang dengan kemampuan otonomi akan dirinya sendiri menghantarkan ia pada pintu-pintu eksploitasi dan berakhir pada penindasan perempuan itu sendiri. Kebodohan dan ketertinggalan perempuan ini sangatlah memprihatinkan, apalagi sering kali kondisi ini terjadi diakibatkan oleh penindasan kearogansiaan lingkungan dan budaya masyarakatnya, dan lebih ironis lagi karena ketidakmampuan diri perempuan untuk mengatur dan menjalankan sepenuhnya roda pemerintahan dalam diri mereka sendiri. Oleh karena itu, otonomi perempuan sangat penting bagi kehormatan perempuan itu sendiri.


















C.KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia atas nama bangsa dan negara Indonesi harus berani dan tegas mengambil langkah-langkah implementasi yang efektif. terutama dalam menjaga hak-hak bagi kaum perempuan.
Dan jug begitu kompleksnya pengalaman perempuan yang menggeluti dunia politik islam. Politik yang dianggap sebagai ruang yang seolah-olah terpisah dari lingkungan keseharian perempuan, politik masih dianggap sebagai “dunia lain” bagi perempuan yang diajarkan berkonsentrasi pada urusan rumah tangga dan keluarga.


















DAFTAR PUSTAKA

Koderi, Muhammad. 1999. Bolehkah wanita menjadi Imam Negara. Cetakan Pertama. Jakarta; Gema Insani.
Kelompok kerja Convention Watch, Pusat kajian Wanita dan Gender., UI. 2005. Hak Asasi Perempuan . Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
Ridjal, Fauzi dkk. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesi. Cetakan Pertama. Yogyakarta; PT.Tiara Wacana Yogya.
Mernissi, Fatima. 1999. Pemberontakan Wanita. Cetakan Pertama. Bandung; Mizan
Irianto, Sulistyo. 2008. Perempuan dan Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia
Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanit Dalam Pembangunan. Cetakan Pertama. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.